Di tengah derasnya terjangan globalisasi terhadap dunia
pendidikan, kualitas diri menjadi sorotan penting untuk diketengahkan ke dalam
pembicaraan masyarakat, khususnya bagi para praktisi pendidikan. Impian untuk
bisa lulus tepat waktu, meraih gelar, lalu bekerja sesuai dengan jurusan yang
telah digelutinya, menjadi sebuah harapan besar dari para akademisi manapun
agar proses pendidikan yang selama ini ditempuh tidak terasa sia-sia.
Akan tetapi, ketatnya persaingan kerja setelah lulus nanti
ternyata berimbas kepada membengkaknya tingkat pengangguran di negeri ini tiap
tahunnya. Hal ini memaksa para sarjana -baik yang baru maupun yang sudah lama-
untuk “banting stir 180 derajat“
memilih bekerja apapun walaupun terkadang tidak sesuai dengan jurusannya selama
ini. Mungkin saja hal ini terjadi, dikarenakan adanya pergeseran cara berfikir
dari dunia kerja sendiri yang mulai mengutamakan nilai kualitas daripada
sekadar popularitas. Sehingga tanpa disepakatipun lulusan-lulusan yang hanya
mengandalkan pamor tanpa adanya nilai kualitas yang menjanjikan sudah barang
tentu tidak akan terpakai atau tersingkir. Kondisi seperti inilah yang menjadi
kekhawatiran bagi para calon sarjana dalam menghadapi realitas dunia kerja
nanti ketika menempuh proses pendidikan. Lebih buruknya lagi, akan terjadinya
penurunan orientasi belajar yang berdampak kepada bergesernya tujuan utama
kuliah.
Adanya globalisasi ini tentunya tidak bisa kita hindari,
karena ini merupakan konsekuensi logis dari dinamisnya kehidupan manusia.
Begitupun juga dengan ketatnya persaingan kerja -baik antar jurusan maupun
dengan mereka yang berbeda jurusan-. Inilah masalah yang perlu kita pecahkan
bersama, tidak hanya oleh mahasiswa
Khususnya kepada semua jurusan yang dikelola pihak kampus
yang sejatinya mencetak lulusan yang kompeten dan juga siap kerja -tentunya
yang dibekali dengan nilai moralitas-.
Perlu disadari, sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai dengan
jurusan karena memang minimnya kualitas dari lulusan yang bersangkutan, pada
kenyataannya minimnya kualitas yang ada bisa terjadi karena persentase teori
jauh melebihi persentase praktek yang didapat, oleh karena itu pendidikan
berbasis praktek menjadi solusi yang harus segera dilaksanakan tanpa ada lagi
proses birokrasi yang berbelit-belit. Tidak hanya penyajian kurikulum yang
relevan, penyediaan dosen-dosen yang berkualitas, namun juga ditunjang dengan
sejumlah fasilitas yang mumpuni. Sistem pendidikan yang seperti inilah yang mampu
mendongkrak kemampuan dasar para civitas akademika, tidak hanya mahasiswanya
sebagai objek pengajaran namun juga berimbas kepada kemampuan dosen sebagai
staf pendidik. Dengan kata lain, proses pendidikan menjadi tahapan yang harus
dilakukan dengan maksimal.
Pertanyaan besarnya, sudah sejauh manakah pendidikan di
Indonesia ini khususnya pihak kampus baik negeri maupun swasta memberikan
pelayanan maksimal terhadap mahasiswanya demi membangun kebangkitan pendidikan
Indonesia??
*Penulis
merupakan alumnus Jurnalistik Universitas Islam Negeri Bandung
0 komentar:
Posting Komentar