Seperti yang umat muslim ketahui, menunaikan ibadah haji termasuk
ke dalam rukun islam yang kelima. Perintah yang jatuh pada bulan Dzulhijah ini,
diwajibkan kepada setiap muslim, khususnya bagi mereka yang mampu menunaikannya.
Ukuran mampu disini bisa diartikan mampu secara materi (uang), ataupun mampu
secara fisik artinya dia kuat untuk berangkat. Terlebih lagi ia mampu
meninggalkan aktifitas sehari-harinya agar bisa fokus menjalani Ibadah haji.
Namun begitu, tidak
semua umat muslim yang terkategorikan mampu dan memiliki kesempatan mau
melaksanakan ibadah haji. Tentunya dengan berbagai alasan yang dikemukakanya.Mengenai hal ini,
saya jadi teringat satu kutipan dari sayidina Ali Bin Abi Thalib. Beliau pernah
mengatakan, kalau ada seorang muslim mampu berhaji, akan tetapi dengan sengaja
ia abaikan kesempatan tersebut sampai akhirnya ia mati. Maka di akhirat kelak,
Allah memberikan kesempatan kepada orang tersebut, apakah orang tersebut ingin
mati dalam keadaan beragama Majusi, Yahudi, atau Nasrani. Dari pernyataan
sayidina Ali tersebut, semakin jelaslah keutamaan menunaikan Ibadah haji, bagi
yang mampu.
Sebagai seorang
muslim, tentunya harus mempunyai keinginan untuk menunaikan seluruh rukun
islam. Karena kalau diibaratkan, rukun itu bagaikan tiang, jadi kalau kita
melaksanakan keseluruhan rukun, tentunya bangunan keislaman kita akan lebih
kokoh, karena ditopang oleh banyak tiang.
Keinginan hidup
secara kaffah (sempurna) inilah, yang mengakibatkan dari tahun ke tahun
pendaftar haji semakin tinggi. Hal tersebut tentunya membuktikan, masyarakat
mulai memahami akan pentingnya ibadah haji.
Akan tetapi,
berdasarkan keputusan pemerintahan Arab Saudi belum lama ini menetapkan
kebijakan pembatasan kuota haji. Hal ini dimaksudkan agar jumlah jamaah yang
datang masih bisa tertampung oleh fasilitas yang tersedia. Tentunya dengan
adanya kebijakan ini, mengakibatkan perubahan terhadap pelaksanaan ibadah haji
tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Bagi jamaah muslim yang sudah menunaikan
haji, tidak bisa pergi kembali sampai masa yang ditetapkan. Keputusan ini
diambil dengan maksud, memberikan kesempatan bagi masyarakat yang belum pernah
menunaikan ibadah haji.
Hakikat Haji
Suatu ketika ada
seorang waliyullah yang baru beres sholat tahajud di Mekkah. Sambil menunggu
waktu shubuh, orang tersebut tertidur di depan ka’bah. Tak lama kemudian ia
terbangun dengan raut wajah yang pucat pasi. Sahabat-sahabatnya yang melihat
kejadian tersebut, merasa heran lalu mereka menanyakan apa yang terjadi dengan
waliyullah tersebut. Rupanya ketika tertidur dia bermimpi mendapatkan petunjuk
dari Allah, bahwa semua orang yang haji tahun ini tidak ada yang mabrur.
Berkaca dari kisah
ini, suatu ibadah akan sia-sia apabila tidak mencapai pada nilai hakikatnya.
Sehingga memaknai hakikat haji menjadi suatu hal yang penting. Untuk mencapai
nilai hakikat tersebut, tentunya perlu ditopang oleh pelaksanaan ibadah haji
yang sesuai syaria’at. Sehingga hal pertama yang perlu diperhatikan ialah Niatnya.
Niat itu menjadi rukun pertama dan utama. Niat ikhlas semata-mata demi Allah.
Disamping niat yang ikhlas itu yang akan menentukan amal ibadah kita.disisi
Allah. Dengan niat itu pula yang dapat memudahkan kita menjalani aktifitas .
Saya punya cerita
tentang hal ini : suatu saat dirinya bertemu dengan seseorang yang sudah
berumur lanjut, Namun, ia mempunyai keinginan yang kuat untuk pergi ke tanah
suci. Padahal kondisinya tengah sakit parah. Dokter dan perawatnya menyarankan
temannya itu untuk mengurungkan niatnya terlebih dahulu. Namun karena
keinginannya yang kuat, dia pun berangkat dan Alhamdulillah tidak terjadi
apa-apa. Bahkan, temannya yang satu ini, menyempatkan diri untuk membantu
jamaah lainnya apabila ada yang sakit.
Berbicara mengenai
haji yang mabrur tentunya merupakan ketetapan mutlak milik Allah. Persoalan
ketulusan niat menunaikan ibadah haji yang paling tahu isi hati manuia adalah
Allah sendiri. Akan tetapi bagaimana mungkin hakikat ini bisa diraih apabila
dalam syariat saja masih terdapat penyimpangan.
Saya melihat,
jamaah Indonesia secara syariat saja, mereka terlalu disibukan dengan hal-hal
yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Entah itu permasalahan gelang, baju
seragam atau apapun, sampai menghabiskan uang, kalau sudah begini secara tidak
sadar dapat menyimpangkan tujuan semula naik haji.
Pernah suatu
ketika, saya bertanya perihal tawaf, bayangan dari seseorang tersebut, yang
namanya tawaf bisa dicicil, jadi dia nyicil tiga kali putaran dulu,
setelah itu dua kali putaran, dan yang terakhir tiga kali putaran. Padahal
secara syariat, tawaf itu tujuh putaran dalam satu waktu dan tidak dicicil. Hal
ini menunjukan masih banyaknya hal-hal yang perlu dibenahi kembali dalam
membimbing jamaah haji, agar ibadah haji mereka menjadi mabrur. (pnurullah)
#
dikutip dari ceramah Ketua Forum Ulama Umat Indonesia, Ustadz Athian Ali
Muhammad Da’i
0 komentar:
Posting Komentar