Jumat, 13 Juli 2012

Nikmat Manakah Yang [Masih] Akan Disia-Siakan?


Penulis : Pipin Nurullah*
Disebuah keramaian jalan, tepat di samping gerbang terminal kota, di antara hilir mudiknya para pejalan dan pengendara, terselip seorang kakek tengah duduk bersila di atas tikar dan potongan kardus yang dijadikannya alas bersandar. Di bawah teriknya sinar mentari lelaki tua tersebut menengadah dengan mangkok plastik yang lekat dengan butiran debu.
Di dekat alas duduknya tersebut, ada sebuah papan triplek kecil yang bertuliskan “saya buta, tolong kasihani saya”. Hampir setengah hari ia duduk bermandikan cucuran keringatnya, namun tak jua mendapatkan hasil yang sepadan, mangkoknya masih saja kosong.
Tidak jauh dari tempat mangkal pengemis tersebut, terlihat seorang pemuda tengah menatapnya iba. Seraya berfikir apakah gerangan yang membuat orang-orang tak menyisihkan uang mereka, walaupun hanya seperak? Tak lama kemudian, pemuda tersebut mendekati pengemis itu dan berinisiatif mengganti tulisan yang ada dipapan triplek tadi. Tidak berselang lama, walaupun tak banyak, hampir setiap orang yang lewat memberikan sekeping dua keping uang mereka. Sungguh dahsyat apa yang ditulis pemuda tersebut, hingga membuat orang lain merasa tersentuh. “Hari ini begitu indah, walaupun saya tidak bisa melihatnya”[].

Syahdan, percayalah sebuah sikap dan perkataan yang muncul dari hati yang penuh syukur akan terasa berbeda. Sikap dan kata-katanya itu akan terasa lebih indah, menyentuh, dan dahsyat. Sadarkah kita, lebih dari setengah rasa susah dan penderitaan, muncul karena terlalu seringnya melihat kenikmatan orang lain yang belum ataupun tidak kita miliki. Terkadang kita mendikte Tuhan saat apa yang diinginkan ternyata tak jua terwujud. Alhasil, kita malah melupakan nikmat terbesar yang justru telah kita dapatkan dan lebih berharga dari sebatas apa yang diinginkan.
Padahal Rasulullah SAW telah berpesan pada ummatnya, “lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian. Karena sesungguhnya itu lebih pantas agar kalian tidak memandang rendah atas nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian” (HR Bukhari).
Ibarat pohon, bersyukur akan memunculkan tunas-tunas baru yang kemudian akan menjadi pohon kembali dan memberikan beragam kenikmatan yang lainnya. Bersyukur tidak hanya sekadar mengucapkan hamdallah, baik ketika mendapatkan kebahagiaan ataupun kesedihan. Lebih dari itu, rasa syukur dapat diinterpretasikan dengan perbuatan. Yakni memelihara, memanfaatkan, dan mengembangkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan pemberian nikmat tersebut. Dengan begitu, barulah syukur dapat bermakna dan Allah akan melimpahkan nikmatnya tiada henti.
Ambil contoh saja nikmat sehat yang kita miliki. Bila kita memaksimalkan sehat kita itu untuk menyeru dan menyampaikan ayat-ayat Allah kepada setiap orang yang bisa kita temui. Jauh atau dekat, hujan ataupun panas namun kita tetap berupaya untuk pergi dengan niat menambah amal ibadah. Maka tanpa kita sadari badan kita akan tetap sehat malah terlihat bugar. Walaupun aktivitas tersebut menyita waktu tidur dan pikiran kita.
Bandingkan dengan orang yang sehat, namun ia menghabiskan sehatnya itu dengan membuang-buang waktu, tidur di siang hari, atau menonton televisi hingga shubuh menjelang. Mungkin secara lisan, ia bersyukur akan nikmat sehat yang ia dapat karena walaupun dengan aktivitasnya tersebut ia tetap sehat. Namun sayang, rasa syukurnya itu hanya sebatas ucapan yang tak sampai pada pemahaman untuk apa nikmat sehat itu diberikan kepadanya. Dengan kata lain, tiada gunalah sehat yang ia miliki saat itu.
Ingatlah, Allah telah mengingatkan kita dengan firman-Nya yang termaktub dalam Qs Ibrahim: 7, “sungguh jika kamu bersyukur, niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya, sungguh azab-Ku sangat keras”.
Syahdan, mari kita sejenak merenung dan tanyakan pada hati dan amal. Dari sekian banyak nikmat yang telah diberikan, manakah yang sudah kita manfaatkan dijalan-Nya? Ataukah semua nikmat yang kita dapatkan itu, baik harta, jiwa, dan tenaga terhabiskan demi memenuhi ambisi kita yang fana ini? Lantas, sampai kapankah kita akan menyia-nyiakan nikmat-Nya itu?

*Penulis merupakan civitas akademika Jurnalistik UIN Bandung angkatan 2008