Rabu, 28 November 2012

Mengikuti Simfoni Hujan, Catatan Penjual Tahu (bag.1)


Akan saya ceritakan satu hal yang belum kau ketahui. Sebuah rahasia yang kupendam sedari saya masih dibentuk di sebuah kandang. Saya ingin kau tahu hal ini, agar kau bisa memilah kembali suara-suara sumbang yang kau dengar kemarin itu.

Ketahuilah, bahwa saya tak pernah menjual tempe. Saya adalah seorang penjual tahu. Sudah lima tahun saya menggeluti profesi itu. Bukan, bukan karena faktor ekonomi. Bukan pula karena saya tak bisa mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan. Pekerjaan ini lebih dari sekadar menjanjikan. Coba kau bayangkan, keuntungan yang tak seberapa saja, bisa menjadi investasi besar bagi penjualnya untuk membangun keluarga yang kuat dan harmonis.

Menjadi penjual tahu bukan hanya berbicara ihwal memproduksinya. Tapi juga mengemasnya ke dalam sebuah bungkusan yang menarik. Agar sang pembeli, rela merogoh koceknya dalam-dalam demi mengkonsumi tahu yang sudah disiapkan seapik mungkin.  

Bukan hanya itu, menjadi penjual tahu tak terikat rigid kerja. Hanya perlu mengikuti ritme simfoni hujan. Bangun sebelum mentari menyingsingkan pradiptanya. Berangkat selepas tunai kewajiban subuh, ketika dewa-dewa masih terpekur bersama mimpi. Pantang pulang sebelum tahu habis. Karena itu, bila saja kau tiga tahun lebih awal mengenalku, kau akan mendapatiku menenteng tahu-tahu yang belum terjual. Waktu itu, saya adalah penjual tahu yang masih seumur jagung. Belum mengenal pangsa pasar pertahuan.

Kau tau, berapa jumlah penjual tahu di dunia ini? Ada banyak. Mungkin lebih dari jumlah sel yang kau punya. Karena itu, persaingan di bisnis ini begitu hebat. Tak kuat saja kau memegang tahumu, ia akan berpindah tangan begitu saja kepada penjual tahu yang lain. Sialnya, kita tak bisa mengambil balik tahu yang sudah terambil itu. Intinya sebelum tahu itu berada di tangan pembeli, maka tahu itu masih berpeluang dibungkus oleh orang lain. Sebagai penjual tahu, tentunya akan dilema menghadapi persoalan demikian, tapi itulah resikonya. Tak menutup kemungkinan, sang penjual tahu menyisipkan sejumlah bakteri agar tahu yang akan dijual berubah bentuk menjadi tempe. 

Seperti yang ku katakan tadi, yang ku jual bukanlah tempe. Itu sebabnya, saya menyangkal hebat bila kau tuduh demikian. Kedelai yang ku beli di beberapa pasar tradisional, tak pernah terbesit untuk ku bentuk menjadi tempe. Bagiku, tempe adalah makanan yang tak pantas untuk dijual. Jangan bertanya kenapa, karena tak ada alasan yang logis untuk menyimpulkan demikian. Sekali lagi, menjadi penjual tahu, hanya perlu mengikuti ritme simfoni hujan. 

Minggu, 18 November 2012

Geliat Artis di Bursa Pemilihan



GENDERANG perang Pemilihan Gubernur Jawa Barat (Pilgub Jabar) 2013-2018 resmi ditabuh. Setelah pada 10 November kemarin, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jabar mengantongi lima pasang nama calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) yang akan bertarung memperebutkan satu kursi kepemimpinan Jabar selama empat bulan ke depan. 

Sebut saja cagub dan cawagub dari jalur partai politik, ada pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki (Paten). Selanjutnya Dede Yusuf-Lex Laksamana, Ahmad Heryawan (Aher)-Deddy Mizwar, terakhir ada Irianto MS Syafiuddin (Yance) dan Tatang Farhan Nurkahim. Sementara satu-satunya pasangan dari jalur non-partai adalah Dikdik Mulyana Arif Mansur-Cecep NS Toyib (Dikdik-Toyib).

Melihat dari para kandidat yang lolos, wajah-wajah artis masih mewarnai riuh rendahnya arus perpolitikan pemilihan. Sosok yang baru-baru ini hangat dan menjadi sorotan insan media adalah sang sutradara cum aktor senior, Deddy Mizwar. Sempat lama memberi jawaban di awal pinangan, tiba-tiba saja namanya muncul sebagai pendamping Aher.

Hal ini sangat menarik, tentunya publik masih ingat bagaimana di periode Pilgub sebelumnya, Aher maju sebagai cagub dan menggandeng Dede Yusuf sebagai cawagub. Kemenangan Pasangan “Hade” ini, tak lepas dari kuatnya pencitraan Dede Yusuf, bukan hanya sebagai tokoh yang mewakili kaum muda melainkan juga sebagai selebritas.

Kesuksesan ini, sepertinya menjadi sebuah rumusan bagi kandidat berikutnya. Apabila ingin menang dalam putaran pemilihan, menggaet artis adalah salah satu jalan logis mendongrak suara dan popularitas. Sehingga amatlah wajar, dalam pemilihan pemimpin, baik tingkat walikota/bupati, gubernur, maupun presiden, wajah artis kerap meramaikan bursa pemilihan. 

Tentunya strategi tersebut sah-sah saja. Sepanjang masih sejalur dengan koridor aturan. Namun yang menjadi pertanyaanya adalah ketika pasangan tersebut terpilih menjabat. Apakah mereka masih bisa mempertahankan keharmonisannya dalam memimpin? Sebagaimana yang ditunjukan mereka di masa kampanye. Bukan sebuah pemandangan yang baru, bilamana akhirnya pasangan yang terpilih tersebut ‘cerai’ di pertengahan jabatan. Alih-alih memperbaiki hubungan, yang terjadi adalah pencalonan diri di periode pemilu berikutnya. Seperti inikah kultur kebudayaan perpolitikan Indonesia yang ingin dibangun?

Perceraian di masa menjabat amat sangat mungkin terjadi. Semungkin seringnya fenomena perceraian artis-artis di Indonesia. Karena keberadaan mereka, seringkali hanya dimanfaatkan sesaat dalam momentum tertentu saja. Yaitu ketika pemilu. Setelah terpilih, seolah-olah mereka berjalan sendiri-sendiri. Hal inilah yang membuat mandegnya partai politik melahirkan kader yang benar-benar visioner dan programatik. Karena bila pemilu datang, jarang rasanya partai politik memberanikan diri memunculkan sosok yang dikader langsung oleh partainya. Baik menjadi pemimpin ataupun pendamping. Entah ini sebuah strategi atau bentuk laten dari kelemahan kaderisasi partai?

Tak Butuh Sekadar Pencitraan 
Hal yang menjadi sorotan publik lainnya adalah kultur tebar pesona para calon dalam meraih simpati masyarakat. Bukan sebuah rahasia, bila birokrat hanya mengelus-ngelus kaki rakyat sekali dalam lima tahun. Ini yang repot. Akankah masyarakat bisa sejahtera bila intrik yang digunakan seperti itu?

Ada-ada saja kelakuan para kompetitor dalam meraih simpatik masyarakat. Seperti membuka media center, turun ke jalan seolah-olah ikut merasakan penderitaan rakyat, atau menggunakan simbol-simbol kedaerahan sebagai perwujudan cinta kebudayaan tradisional. Akan tetapi setelah terpilih, mau bertemu dengan pemimpin saja, sulitnya setengah mati. Kiranya inilah hal penting yang harus segera dievaluasi. Adakah mereka berpikir ke arah itu?

Berbicara kepemimpinan Jawa Barat, bukan sebatas ketika kampanye saja. Sebab permasalahan yang dipertaruhkan adalah nyata dan terasa. Kesejahteraan tidak bisa dijual oleh popularitas. Masyarakat butuh realisasi, bukan dagelan pencitraan. (pnurullah)
*Bandung, 12 November 2012

“Fenomena Peniruan Gaya Berpakaian Kiyai dalam Perspektif Antropologi”



Bismillahirrahmaanirrahim….
Pendeskripsian Masalah Pengamatan
Pengamatan yang akan saya lakukan mengenai permasalahan simbol agama (khususnya simbol-simbol keislaman) yang dipakai sebagian masyarakat untuk mendulang dana. Maksudnya, sekarang ini masih banyak orang-orang menggunakan modus meminta dana kepada masyarakat dengan menggunakan pakaian seperti para kiyai atau para ajengan. (terlepas dari benar atau tidaknya maksud permintaan dana tersebut)

Kita tahu bahwa ajengan atau kiyai adalah tokoh masyarakat yang sangat dihormati, Karena pengetahuan keagamaannya yang luas dan hubungannya dengan Sang Khalik begitu kuat. Sehingga tak ayal para kiyai mendapatkan tempat khusus di hati masyarakat, khususnya dari para santrinya.

Nah, paradigma masyarakat seperti itulah yang kini seringkali dimanfaatkan oleh sebagian kalangan masyarakat untuk mendulang dana sebanyak mungkin dengan berpakaian seperti ajengan (memakai gamis dan memakai sorban yang dililitkan di kepalanya). Terkadang untuk menyempurnakan tampilannya, tak sedikit pula dari mereka memakai tasbih (alat yang biasa digunakan umat muslim untuk berdzikir). Dengan harapan para masyarakat terkesima dan mau menyisihkan sebagian uangnya untuk mereka. Bahkan tidak hanya dari segi tampilannya saja, mereka pun mencoba menarik simpati masyarakat dengan berbicara mengunakan bahasa Arab.

Sebenarnya pengamatan yang saya lakukan ini mungkin tidak begitu terasa manfaatnya untuk masyarakat secara umum. Namun saya berharap apa yang telah saya amati ini setidaknya menjadi salah satu referensi antropologi yang membahas suatu permasalahan yang berkaitan dengan hal ini.

Rumusan Masalah Pengamatan
Saya tidak akan mengamati tentang salah atau benarnya tindakan tersebut? atau Apakah masyarakat merasa simpati atas tindakan mereka? Apalagi menelusuri bagaimana tanggapan masyarakat tentang hal ini? Akan tetapi, di sini saya akan mencoba menguraikan bagaimana Antropologi memandang fenomena kebudayaan yang cukup unik ini. Mengapa saya katakan unik? Karena bisa dilihat fenomena ini hanya ada di Indonesia dan mungkin hanya ada di daerah perkotaan saja.

Kajian Antropologi
Antroplogi ialah suatu ilmu yang paling luas cakrawalanya dibanding ilmu-ilmu sosial lainnya. Karena Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami semua sifat-sifat manusia secara lebih detail. Karena itu, tiada seorang ahli antropologi yang mampu menguasai ilmu yang demikian luas cakupannya tersebut. Sarjana-sarjana antropologi pun memusatkan kajiannya pada bagian-bagian tertentu dari antropologi.

Salah satu dari kajian antropologi ini ada yang disebut dengan “Antropologi Budaya”. Dimana antropologi budaya mempelajari manusia yang berkaitan dengan materi-materi kebudayaan misalnya, alat-alat untuk bertahan hidup, kesenian, perilaku masyarakat, dan sebagainya.

Kembali pada permasalahan pengamatan di atas. Menurut saya, fenomena yang terjadi tersebut lebih cocok dikaji pada kajian antropologi budaya. Mengapa? Karena fenomena ini merupakan suatu bentuk prilaku manusia yang menggunakan suatu simbol agama, khususnya simbol yang teridentikan dengan Islam.

Dari kasus pengamatan di atas setidaknya di sini saya melihat ada dua kajian yang dapat dibahas dalam perspektif antropologi. Pertama, tentang simbol agama itu sendri. Apa itu simbol agama? Kedua, tentang paradigma kiyai. Seperti apakah paradigma kiyai saat ini? Lalu apa hubungannya kiyai dengan simbol agama? Yah, setidaknya hal itulah yang akan saya coba uraikan.

Pertama, mari kita telusuri tentang simbol agama. Secara esensinya simbol agama adalah suatu alat yang menjadi tanda atau ciri dari suatu agama. Misalnya dalam ajaran Kristen, salib menjadi sebuah simbol suci yang sudah teridentikan dengan Agama Kristen. Karena sejarahnya Yesus yang dipercayai sebagai “juru selamat” disalib oleh para penguasa pada zamannya dan berakhir sangat mengenaskan. Kejadian tersebut sangat memilukan hati ummat Kristiani. Secara tidak sadar salib pun menjadi benda yang sangat sakral bagi mereka. Itu dari contoh Agama Kristen, begitu halnya dengan agama lainnya seperti Budha, Hindu, Islam, Yahudi ataupun agama apapun. Saya kira mereka memiliki suatu benda yang begitu disakralkan.

Kedua, tentang pandangan terhadap kiyai. Bila kita melihat figur dari seorang kiyai dahulu. Seringkali teridentikan akan sosok yang tegas, bijaksana, dan cerdas. Pada umumnya para kiyai menjadi tokoh masyarakat yang sangat disegani. Namun apalah daya bila ternyata di zaman ini pandangan mengenai mereka mulai berubah.  Yah, mungkin akibat dari pengaruh dunia sekuler yang memisahkan urusan agama dengan politik. Karena itu saat melihat kiyai perspektif beberapa kalangan masyarakat pun malah menjadi menyimpang. Yaitu mereka yang tugasnya hanya mengurusi pesantren saja. Tidak usah ataupun jangan mengurusi urusan-urusan politik negara.

Di sini antropologi memandang telah terjadinya suatu penggeseran makna dan status sosial dari kiyai. Sehingga sebenarnya sudah sedikit tidak relevan lagi bagi masyarakat Indonesia untuk menarik simpati para masyarakat dengan “berlaga” seperti para kiyai.

Lalu apa hubungannya para kiyai dengan simbol agama yang sempat kita bahas secara singkat sebelumnya?

Bila kita sama-sama amati permasalahan fenomena kebudayaan yang cukup menjamur ini, menarik saya pada satu pertanyaan, apakah gaya berpakaian dari para kiyai itu termasuk dalam simbol agama Islam? Jikalau hal itu termasuk simbol agama Islam apakah tindakan para “plagiat” mode itu termasuk pelecehan simbol agama Islam?

Memang sulit untuk menentukan apakah pakaian yang sering digunakan oleh para kiyai itu sudah termasuk simbol agama? Karena selama ini tidak ada indikator yang jelas mengenai ketentuan-ketentuan yang bisa menjadikan sesuatu itu merupakan suatu simbol agama. Semua itu terjadi begitu saja tanpa ada manusia yang merencanakannya.

Contohnya saja salib yang sempat dibahas tadi. Salib menjadi simbol agama Kristen, karena ada kasus kejadian yang penting (bersejarah) dan menimpa pada orang yang penting pula. Ataupun tasbeh budha (benda yang hampir sama dengan tasbih namun memiliki ukuran yang lebih besar yang suka dikalungkan oleh umat budha) alat tersebut menjadi simbol agama ummat budha, yang entah kapan disahkannya. Pikiran kita akan terfokus pada setiap orang yang mengenakan tasbeh budha itu pasti umat Budha walaupun belum tentu demikian.

Tapi di sisi lain, bila suatu benda sudah teridentikan dengan suatu agama atau suatu kepercayaan maka benda tersebut sudah menjadi sebuah simbol agama tanpa harus meminta persetujuan dari umatnya apakah benda ini mau dijadikan simbol agama atau tidak. Begitupun dengan gaya berpakaian dari para kiyai. Ketika kita melihat seseorang yang berpakaian seperti kiyai maka otak kita sudah tersimpulkan dengan sendirinya bahwa orang tersebut ialah orang Islam. Setidaknya otak kita pasti menyangkal orang yang berpakaian seperti itu adalah seorang pendeta, pastur, atau orang Kristen.

Kesimpulan
Jadi, gaya berpakaian seorang kiyai telah menjadi suatu simbol agama Islam atau telah menjadi sesuatu yang identik dengan kata Islam bahkan telah menjadi sesuatu yang sakral bagi ummat Islam. Maka tindakan orang-orang yang melakukan hal tersebut dalam perspektif Antropologi bisa dianggap sebagai suatu penyelewengan agama. Lebih-lebih bisa dianggap sebagai suatu pelecehan terhadap Islam.

Karena itu larangan penggunaan simbol-simbol agama untuk tujuan yang tak pada tempatnya adalah sebuah hal yang positif untuk menjaga agama dari orang-orang yang menyelewengkan dan bermain-main dengan ajaran Tuhan.

Antropologi memandang tentang urusan agama. Secara esensi, agama itu milik Tuhan, bukan milik umat yang memeluk agama tersebut. Demikian pun simbol-simbol dan atribut-atribut yang ada di dalam suatu agama Tuhan adalah pemilik yang mutlak. Jadi penggunaan simbol-simbol agama untuk tujuan yang tak pada tempatnya bisa dianggap sebagai sesuatu penghinaan >>>
Waulahu’alam….

Daftar Referensi

Jumat, 09 November 2012

Bukan Perkara Tampilan

“Habib, kok begini?” tanya Buya Hamka terheran heran sesaat menyaksikan jamaah wanita KH Habib Utsman yang rata-rata tak berkerudung. Bahkan tak sedikit di antaranya yang mengenakan rok mini. Tentu saja, seorang Buya Hamka merasa asing dengan acara pengajian seperti itu.
Lalu dengan santai, Kyai yang bermarga Al-Aydarus itu menjawab, “Coba Buya lihat dari sisi yang berbeda. Mereka datang ke Masjid Assalam ini saja, sudah merupakan sebuah keberhasilan. Masalah pakaian yang belum layak, itu ihwal yang berbeda. Dan itu yang akan menjadi tugas selanjutnya.“ [] (Tabloid Alhikmah, Edisi Februari 2011)

Syahdan, ada yang menarik dari cuplikan dialog di atas. Sebagai seorang ulama yang terpandang, tentunya pertanyaan Buya Hamka tidaklah keliru. Di benaknya, sebuah majelis itu selayaknya dihadiri oleh orang-orang yang berpakaian rapi nan sopan. Apalagi bila digunakan untuk menuntut ilmu dan mengkaji ayat-ayat Allah.
Namun kenyataannya, antara pandangan teori dengan realitas sosial tak selamanya seiring sekata. Kuatnya cengkraman kemiskinan, cenderung membuat masyarakat lebih memprioritaskan urusan perut daripada rohani. Maka tak berlebihan, bila K.H. Habib Utsman berpendapat “kedatangan mereka ke masjid, adalah suatu keberhasilan.” Baik untuk yang mengajaknya, ataupun yang datang atas inisiatif pribadi.
Sehebat apapun seorang da’i, bila memang tak ada niat yang tulus dari mad’unya untuk mendengarkan, maka apa yang dikatakan da’i tersebut hanya akan masuk telinga kiri lalu keluar telinga kanan. Tengok saja fenomena shalat jumat saat ini. Sebagus apapun pakaian yang dikenakan, sewangi apapun parfum yang digunakan, selebar apapun sajadah yang digelar, tetaplah berujung pada kesia-siaan. Seringkali ada yang tak acuh, niat tidur, dan mengobrol sembari bersandar di sudut belakang masjid.
Kalau sudah seperti ini, bagaimana mungkin cahaya Islam terpancar kepada mereka yang dating hanya sebatas penggugur kewajiban semata? Bukankah Islam itu harus diserukan? Walau satu ayat, kepada siapa saja, dan dalam kondisi bagaimanapun?
Maka, dengan mengucapkan basmallah, mari kita berikan apresiasi sebesar besarnya kepada mereka yang hatinya tergerak untuk mendalami ajaran Islam. Binalah mereka dengan syariat dan akidah yang benar agar kedepannya menjadi muslim yang paripurna dan mencetak muslim sejati lainnya. Karena berislam, bukanlah perkara tampilan, Melainkan soal ketulusan, semangat, dan aplikasi.(pnurullah)

Senin, 05 November 2012

Melepas Kerikil



Alkisah di sebuah pedalaman, hidup seorang pemuda yang pemurung. Seluruh hidupnya selalu dihiasi dengan penyesalan. Kenapa saya melakukan itu tadi? Kenapa harus begini jadinya? Mengapa hal ini harus terjadi pada saya? Begitulah kurang lebih pernyataan yang selalu terlontar dalam benak pemuda tersebut. Entah sudah berapa hari ia habiskan waktunya dengan penuh kemurungan seperti itu.
Suatu saat, ketika ia duduk melamun di depan rumahnya. Muncullah seorang nenek dengan memanggul sebuah karung yang besar. Herannya nenek itu tak terlihat letih ataupun pucat. Mukanya tampak berseri-seri dan penuh senyum. Lalu nenek tersebut menghampiri pemuda itu seraya bertanya, "Nak... kalau nenek lewat jalan ini tembusnya kemana yah?" walaupun merasa heran, pemuda itu pun tetap menjawab, "Oh nenek mau kemana? Kalau lewat jalan ini nenek akan ke desa seberang. Euh, nek apa yang nenek bawa itu?" sang pemuda penasaran dengan karung besar yang wanita tua itu bawa.
"Oh, terima kasih nak.  Nenek mau ke suatu tempat yang bisa menaruh apa yang nenek bawa ini," jawab nenek itu penuh keramahan.
"Memang apa yang nenek bawa itu?" tanya pemuda itu yang masih penasaran.
"Nenek membawa kerikil yang nenek pungut di sepanjang perjalanan," jawab nenek itu sambil tersenyum.
"Maksud nenek, karung yang dipanggul itu berisi kerikil? Kan itu berat Nek? Kenapa nenek tidak merasa lelah membawa kerikil sebanyak itu?" lanjut pemuda itu semakin penasaran.
"Karena nenek merasa yang dibawa ini bukanlah sebuah kerikil yang memberatkan. Kerikil ini adalah bagian dari perjalanan nenek menuju tempat dimana kerikil ini harus ditaruh, dan nenek bahagia membawanya," papar nenek itu tenang.
Sontak saja perkataan sang nenek, membuat pemuda itu terdiam sejenak. Pikirannya dilanda beragam perasaan. Bingung, aneh, juga takjub atas kesabaran wanita tua tersebut. Lalu pemuda itu bertanya kembali, "Ehm, kalau boleh saya tahu, kemanakah nenek akan menaruh sekarung kerikil itu?”
Dengan senyum yang berseri, nenek itu menjawab "Kenangan nak." Lalu nenek itu berjalan lagi dan menghilang di rerimbunan hutan meninggalkan sang pemuda untuk kembali berpikir atas kehidupannya. []
~~~
Syahdan, tak selamanya jalan kehidupan ini datar. Seringkali ada kerikil-kerikil tajam yang akan membuat langkah kita semakin terasa berat. Tak menutup kemungkinan, kerikil itu juga bisa membuat yang menginjaknya terjatuh.
Lantas, apakah dengan kerikil itu kita akan berlari mundur? Atau, kerikil itu akan menghentikan langkah kehidupan kita?
Maka siapkanlah sekantung semangat, untuk membawa kerikil itu dalam setangkup optimisme. Lepaskanlah kerikil itu dalam kenangan. Sebesar apapun kerikilnya, jangan pernah sesali atas apa yang telah dilewati. Karena manusia tak akan mengetahui kemanakah hilir kehidupannya berlabuh. Seperti kata petuah bijak, masa lalu tak akan pernah terulang. Memperbaiki diri, adalah upaya logis menjadikan hidup ini lebih berarti. Jadi, sudahkah kita melepaskan kerikil yang kita panggul sendiri? [pnurullah]