Konon, seratus tahun yang lalu, sebuah tempat sembahyang berdiri kokoh di antara hiruk pikuk padatnya alur kehidupan. Seperti halnya bayi yang baru lahir, dia tidak
begitu saja bisa langsung berjalan apalagi berlari. Semua ada
tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui. Pun dengan masjid
yang terletak di pusat Kota Bandung ini, tidak serta merta rupanya bisa nampak megah seperti sekarang.
Dalam riwayatnya, Masjid
Agung Bandung dulu awal dibangun hanya berbalutkan dinding-dinding yang
terbuat dari anyaman bambu. Begitu pula dengan aksesoris masjid yang
lain masih menggunakan bahan-bahan tradisional. Bahkan ada kolam cukup
luas yang digunakan untuk berwudhu, sumber air ini pun bermanfaat untuk
memadamkan si jago merah yang terjadi di sekitar Mesjid Agung Bandung
pada waktu itu.
Sejarah lain mengatakan pembangunan pusat ibadah
umat Islam terbesar di Kota Bandung ini “berduet” dengan pembangunan
Pendopo Kabupaten Bandung di selatan pusat Tanah Pasundan ini. Selain itu
masjid ini sebagai simbol religiusitas
serta sebagai pusat keagamaan kota sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah, khususnya pada masa kolonial Belanda.
Masyarakat Priangan sangat
memanfaatkan masjid ini sebagai lahan untuk beribadah. Tidak terbatas
melaksanakan shalat saja tapi juga aktivitas agama yang lain. Begitu
pula yang dimanfaatkan oleh para pengelola mesjid, berusaha untuk bisa
memakmurkan tempat ibadah ini dengan berbagai aktivitas seputar Islam.
Contohnya adalah menggali potensi masyarakat terhadap Al-Quran dengan
mengadakan pengajian, ataupun memperingati hari-hari besar umat Islam.
Masjid
Agung ini juga sering disebut Bale Nyungcung (Bale: tempat pertemuan
masyarakat, nyungcung: lancip). Dikatakan seperti itu, karena bentuk
atapnya yang lancip (nyungcung) seperti gunungan. Menurut catatan
sejarah, mesjid yang bertempat di Alun-Alun Bandung ini berhadapan
dengan Bale Bandong yang berfungsi sebagai tempat pertemuan tamu
kehormatan Kabupaten Bandung.
Sama seperti halnya kantor lembaga
biasa, mesjid ini pun memiliki struktural kepengurusan agar tata tertib
dan kemakmuran mesjid lebih terjaga. Karena ketekunan para teknokrat
masjid dalam melaksanakan amanahnya, syi’ar dan kemakmuran rumah Allah
ini senantiasa terpancar ke setiap penjuru kota kembang.
Karena
mengikuti arus zaman, pusat ibadah ini pun mengalami metamorfosis dalam
perwajahannya. Mulai dari bongkar pasang bangunan masjid, sampai
perombakan di sekitarnya agar lebih luas. Beberapa ornamen masjid dibuat
lebih menarik dengan gaya khas Priangan.
Meskipun demikian,
bangunan masjid tidak luput dari wajah tradisional Sunda. Dari bentuk
mesjid sampai aksesoris yang terpajang pun menyampaikan bahwa seni Sunda
tidak akan pernah hilang meskipun tergiring ombak perubahan zaman
menjadi lebih modern. Di tahun-tahun berikutnya, Mesjid Agung dilengkapi
dengan serambi depan dan sepasang menara yang tidak begitu tinggi
dengan tutup menara dibuat tumpang susun di kiri-kanan bangunan.
Masjid
yang juga dijuluki “Kaum Bandung” ini terus mengalami pembedahan
bangunan. Perubahan drastis tampak pada atap mesjid, atap mesjid tumpang
susun yang dipakai dari awal mesjid ini terbentuk, kini diubah menjadi
kubah model bawang bergaya Timur Tengah. Lalu dibangun menara tunggal
yang berdiri tegak di halaman depan masjid. Masa demi masa telah
dilalui, seiring bergulirnya perubahan perkembangan kota yang terkenal
dengan oncomnya ini, kini Masjid Agung pun menjadi pusat pendidikan
Islam serta pusat kesehatan masyarakat.
Kemakmuran masjid yang
pernah menjadi tempat pertemuan besar seperti Konferensi Asia Afrika ini
semakin nampak jelas. Kumandang takbir yang berkoar-koar memanggil umat
Islam di sekitar untuk segera menunaikan ibadah shalat terdengar
sangat lantang. Gemuruh orang-orang yang menuntut ilmu dari anak-anak
sampai kakek-nenek berkumpul disana. Pelayanan kesehatan kepada
masyarakat sekitar pun tak ketinggalan. Kini Masjid Agung ini sudah multifungsi, bukan hanya sebagai sarana ibadah saja. Gema tausiyah
yang disampaikan oleh para da’i bukan hanya dapat didengar oleh para
jama’ah yang hadir di tempat, tetapi juga dengan mengudara melalui media
elektronik seperti radio.
Setelah adanya pelantikan pemimpin baru Jawa
barat pada waktu itu, Masjid Agung dibedah total. Beberapa tubuh mesjid
yang sudah tidak digunakan diwakafkan kepada masjid-masjid yang ada di
Kota Peuyeum (tape singkong) ini. Tanpa tinggal diam, Gubernur Jawa
Barat yang baru itu langsung mengerahkan pasukan untuk merombak kembali
Masjid Agung. Untuk tahap pertama yaitu, pembuatan bangunan yang
menjulang tinggi serta dibuatnya jalan penghubung antara Mesjid Agung
dengan pusat kota. Pembangunan itu memakan biaya puluhan juta rupiah.
Perombakan
itu membuat wajah mesjid semakin modern. Lantai mesjid kini sudah
bertingkat, semua bahan pembuatan bangunan yang terbuat dari bata dan
beton, ornamen menara yang dilapisi logam, atap kubah model bawang yang
diganti dengan model joglo. Namun, atap tradisional mesjid diganti
dengan kubah, sehingga kesan bangunan mesjid akan lebih mudah dikenali.
Perubahan
ini semakin memberikan kesan modern yang kini telah menguasai arus
zaman hingga masjid pun tak luput dari korban modernitas. Meskipun
demikian, bangunan baru ini dapat menampung ribuan orang, selain itu
terdapat ruangan khusus untuk meminjam ataupun membaca buku bagi para
pengunjung mesjid.
Perlu diketahui pula, bahwa Presiden pertama
RI pun pernah berkontribusi dalam perombakan Masjid Agung Bandung.
Namun beberapa tahun setelah kemerdekaan RI, perwajahan Masjid Agung
sungguh sangat memprihatinkan. Dinding mesjid saat itu di penuhi ornamen
batu granit serta pintu gerbang yang dikerangkeng besi.
Perubahan
itu membuat tempat ibadah terisolasi. Di tambah dengan hiruk pikuk
pertokoan yang dari tahun ke tahun semakin menghimpit mesjid bersejarah
ini. Beberapa puluh tahun kemudian, di tangan seorang arsitek, mesjid
ini mengalami kembali perubahan yang cukup signfikan. Yaitu dengan
diperluasnya beberapa pijakan kaki mesjid serta mengganti beberapa
komponen bangunan.
Pada akhirnya, renovasi besar-besaran ini mengundang
perhatian tokoh besar Jawa Barat. Maka mereka mengadakan pertemuan
dengan beberapa pasukan yang turut andil dalam pembangunan mesjid untuk
merubah nama Mesjid Agung menjadi “Mesjid Raya Bandung Jawa Barat”.
Proyek renovasi ini memberikan nuansa baru dengan dibangunnya dua menara
kembar dengan ukuran ketinggian yang melambangkan asma Allah SWT.
Bangunan yang mejulang tinggi ini juga seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan
komersial, telekomunikasi dan obyek wisata.(Pipin Nurullah, Indra Abdurohim, Iis Siti Solihah)