Senin, 24 Oktober 2011

reflektif ; Hakikat Ibadah Haji

Seperti yang umat muslim ketahui, menunaikan ibadah haji termasuk ke dalam rukun islam yang kelima. Perintah yang jatuh pada bulan Dzulhijah ini, diwajibkan kepada setiap muslim, khususnya bagi mereka yang mampu menunaikannya. Ukuran mampu disini bisa diartikan mampu secara materi (uang), ataupun mampu secara fisik artinya dia kuat untuk berangkat. Terlebih lagi ia mampu meninggalkan aktifitas sehari-harinya agar bisa fokus menjalani Ibadah haji.
Namun begitu, tidak semua umat muslim yang terkategorikan mampu dan memiliki kesempatan mau melaksanakan ibadah haji. Tentunya dengan berbagai alasan yang dikemukakanya.Mengenai hal ini, saya jadi teringat satu kutipan dari sayidina Ali Bin Abi Thalib. Beliau pernah mengatakan, kalau ada seorang muslim mampu berhaji, akan tetapi dengan sengaja ia abaikan kesempatan tersebut sampai akhirnya ia mati. Maka di akhirat kelak, Allah memberikan kesempatan kepada orang tersebut, apakah orang tersebut ingin mati dalam keadaan beragama Majusi, Yahudi, atau Nasrani. Dari pernyataan sayidina Ali tersebut, semakin jelaslah keutamaan menunaikan Ibadah haji, bagi yang mampu.

Sebagai seorang muslim, tentunya harus mempunyai keinginan untuk menunaikan seluruh rukun islam. Karena kalau diibaratkan, rukun itu bagaikan tiang, jadi kalau kita melaksanakan keseluruhan rukun, tentunya bangunan keislaman kita akan lebih kokoh, karena ditopang oleh banyak tiang.
Keinginan hidup secara kaffah (sempurna) inilah, yang mengakibatkan dari tahun ke tahun pendaftar haji semakin tinggi. Hal tersebut tentunya membuktikan, masyarakat mulai memahami akan pentingnya ibadah haji.
Akan tetapi, berdasarkan keputusan pemerintahan Arab Saudi belum lama ini menetapkan kebijakan pembatasan kuota haji. Hal ini dimaksudkan agar jumlah jamaah yang datang masih bisa tertampung oleh fasilitas yang tersedia. Tentunya dengan adanya kebijakan ini, mengakibatkan perubahan terhadap pelaksanaan ibadah haji tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Bagi jamaah muslim yang sudah menunaikan haji, tidak bisa pergi kembali sampai masa yang ditetapkan. Keputusan ini diambil dengan maksud, memberikan kesempatan bagi masyarakat yang belum pernah menunaikan ibadah haji.

Hakikat Haji
Suatu ketika ada seorang waliyullah yang baru beres sholat tahajud di Mekkah. Sambil menunggu waktu shubuh, orang tersebut tertidur di depan ka’bah. Tak lama kemudian ia terbangun dengan raut wajah yang pucat pasi. Sahabat-sahabatnya yang melihat kejadian tersebut, merasa heran lalu mereka menanyakan apa yang terjadi dengan waliyullah tersebut. Rupanya ketika tertidur dia bermimpi mendapatkan petunjuk dari Allah, bahwa semua orang yang haji tahun ini tidak ada yang mabrur.
Berkaca dari kisah ini, suatu ibadah akan sia-sia apabila tidak mencapai pada nilai hakikatnya. Sehingga memaknai hakikat haji menjadi suatu hal yang penting. Untuk mencapai nilai hakikat tersebut, tentunya perlu ditopang oleh pelaksanaan ibadah haji yang sesuai syaria’at. Sehingga hal pertama yang perlu diperhatikan ialah Niatnya. Niat itu menjadi rukun pertama dan utama. Niat ikhlas semata-mata demi Allah. Disamping niat yang ikhlas itu yang akan menentukan amal ibadah kita.disisi Allah. Dengan niat itu pula yang dapat memudahkan kita menjalani aktifitas .
Saya punya cerita tentang hal ini : suatu saat dirinya bertemu dengan seseorang yang sudah berumur lanjut, Namun, ia mempunyai keinginan yang kuat untuk pergi ke tanah suci. Padahal kondisinya tengah sakit parah. Dokter dan perawatnya menyarankan temannya itu untuk mengurungkan niatnya terlebih dahulu. Namun karena keinginannya yang kuat, dia pun berangkat dan Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa. Bahkan, temannya yang satu ini, menyempatkan diri untuk membantu jamaah lainnya apabila ada yang sakit.  
Berbicara mengenai haji yang mabrur tentunya merupakan ketetapan mutlak milik Allah. Persoalan ketulusan niat menunaikan ibadah haji yang paling tahu isi hati manuia adalah Allah sendiri. Akan tetapi bagaimana mungkin hakikat ini bisa diraih apabila dalam syariat saja masih terdapat penyimpangan.  
Saya melihat, jamaah Indonesia secara syariat saja, mereka terlalu disibukan dengan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Entah itu permasalahan gelang, baju seragam atau apapun, sampai menghabiskan uang, kalau sudah begini secara tidak sadar dapat menyimpangkan tujuan semula naik haji.
Pernah suatu ketika, saya bertanya perihal tawaf, bayangan dari seseorang tersebut, yang namanya tawaf bisa dicicil, jadi dia nyicil  tiga kali putaran dulu, setelah itu dua kali putaran, dan yang terakhir tiga kali putaran. Padahal secara syariat, tawaf itu tujuh putaran dalam satu waktu dan tidak dicicil. Hal ini menunjukan masih banyaknya hal-hal yang perlu dibenahi kembali dalam membimbing jamaah haji, agar ibadah haji mereka menjadi mabrur. (pnurullah)

 # dikutip dari ceramah Ketua Forum Ulama Umat Indonesia, Ustadz Athian Ali Muhammad Da’i

Rabu, 05 Oktober 2011

Abu Qilabah Al-Jarami ; Bersyukur dalam Kekurangan

Suatu hari ketika Abu Ibrahim (seorang musafir), tengah tersesat di padang pasir. Dirinya menemukan sebuah kemah yang sangat tua. Rasa herannya dengan kemah itu, membuat Ibrahim menelusuri ke setiap sudut perkemahan tersebut. Ternyata, dia menemukan seorang lelaki tua yang duduk tenang walau tanpa sehelai tikar pun.
Samar-samar ia mendengar lelaki tua itu mengucapkan berulang-ulang beberapa untaian kalimat :
Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia…
Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia…

Ibrahim merasa heran dengan apa yang barusan didengarkannya. Pandangan Ibrahim tertuju pada kondisi lelaki tua itu. Kedua tangannya buntung dan matanya pun buta. Dia pun memperhatikan kondisi sekitar, sambil mencari-cari adakah yang mengurus lelaki tua tersebut. Baik itu anaknya ataupun istrinya. Namun Ibrahim tak menemukan seorangpun disana.
Rasa heran yang memuncak, membuat ia memberanikan diri untuk mendekati lelaki tua tersebut. Tanpa disengaja lelaki tua itupun merasakan kehadiran Ibrahim, seraya bertanya ”Siapa? Siapa disana?”
Assalaamu’alaikum, Aku seseorang yang tersesat dan menemukan kemah ini,” jawab Ibrahim.
“Tapi Anda sendiri siapa?” tanya Ibrahim singkat.
“Aku seorang yang sakit,” jawab lelaki tua itu singkat pula.
“Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat seperti ini? Di mana istri, anak, dan kerabatmu?” tanyaku lanjut.
“Semua orang meninggalkanku, dan keluargaku banyak yang telah meninggal,” jawabnya.
“Oh, bolehkah aku bertanya sesuatu, barusan kudengar kau mengatakan Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Dan pernyataan itu Anda ucapkan berulang kali. Saya tidak mengerti, apa kelebihan yang Allah berikan kepadamu, sedangkan Anda sendiri saat ini dalam kondisi yang buta, fakir, dan kedua tanganmu buntung. Apalagi ditambah dengan kondisi kehidupanmu saat ini yang tinggal sendirian?”
 “Aku akan menceritakannya kepadamu. Akan tetapi sebelumnya aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” tanyanya.
“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu” kata Ibrahim lugas.
Lelaki itu diam sejenak, lalu menjawab pertanyaan Abu Ibrahim. “Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku. Akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia, Bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami dan berfikir?
“Betul,” jawab Ibrahim singkat.
lalu katanya “Berapa banyak orang yang gila di dunia ini?”
“Banyak juga,” jawab Ibrahim mencoba menerka-nerka apa maksud dari pertanyaan lelaki tua itu.
“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia, sehingga walaupun kondisi aku seperti ini akalku masih berfungsi,” terang lelaki tua itu.
Lelaki tua itu, melanjutkan penjelasannya, bahwasannya Allah memberinya pendengaran, yang dengannya dia bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi disekelilingnya. Allah juga memberikan lisan, dengan lisan inilah dia bisa berdzikir dan menjelaskan keinginannya.
Namun di sisi lain, betapa banyak orang yang diberi telinga namun tuli lagi tak mendengar. Diberi mulut, namun bisu tak bisa berkata. Maka patutlah segala puji dihaturkan kepada Allah yang melebihkanku diantara orang seperti itu jawab lelaki tua itu tenang.
“Bukankah Allah pula telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya, yang hanya mengharap ridho-Nya, yang bersabar atas segala musibah yang menimpa?” lanjutnya.
“Iya benar” jawab Ibrahim..
Lalu lelaki tua itu berkata berapa banyak orang yang menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat !! tegas lelaki tua itu.
Lelaki tua itu terus menyebutkan kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu. Hal tersebut membuat seorang Abu Ibrahim semakin takjub dengan kekuatan imannya. Lelaki tua itu begitu mantap dengan keyakinannya dan begitu bersyukur terhadap pemberian Allah.
Di sisi lain, betapa banyak orang yang sakit yang ujiannya tidak sampai seperempat dari musibah lelaki tua tersebut. Akan tetapi kebanyakan dari mereka mengeluh, meronta-ronta, bahkan sampai menangis sejadi-jadinya.
Bila dibandingkan dengan lelaki tua ini, maka mereka yang seperti itu, amatlah tidak bersyukur dan tipis keimanannya terhadap balasan Allah atas musibah yang menimpa mereka, Padahal pahala yang demikian nilainya besar.
Abu Ibrahim pun menyelami apa yang diucapkan lelaki tua itu semakin jauh. Hingga akhirnya khayalannya terputus saat lelaki tua itu bertanya sesuatu padanya.  “Tuan, bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang? Maukah kamu mengabulkannya?”
“Iya.. apa permintaanmu?” kata Ibrahim.
 “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 14 tahun,”  ujar lelaki tua itu seraya menahan tangis.
Rupanya anak kecil itulah yang selama ini membantu memenuhi segala keperluan lelaki tua itu. Mulai dari makan, minum, sampai membantunya berwudhu. Akan tetapi sejak tadi malam, saat ia pergi mencari makanan, hingga kini ia belum menampakan batang hidungnya kembali. Lelaki tua itu tak tahu menahu apakah ia masih hidup atau sudah meninggalkannya sendiri disini.
Lelaki tua itu meminta Ibrahim untuk mencari anak kecil tersebut. Karena dengan  kondisinya yang sekarang ini ia tak bisa mencari bocah itu, Walaupun sebenarnya dalam lubuk hatinya yang terdalam keinginan itu sangatlah ada.
Setelah menanyakan ciri-ciri anak tersebut, Abu Ibrahim pun meninggalkan lelaki tua itu dan mencari keberadaan anak kecil tersebut. Walaupun Ibrahim tak tahu harus bagaimana dan darimana mencari anak tersebut, namun ia tetap berjanji untuk menemukan bocah itu untuk lelaki tua itu.
Namun tatkala Ibrahim berjalan menyusuri panasnya padang pasir disana. Setelah bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si bocah tadi, nampaklah dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah lelaki tua itu. Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yang mengerumuni sesuatu. Maka segeralah terbetik dalam benaknya untuk pergi kesana.
Ketika Ibrahim mendatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas dengan badan terpotong-potong. Rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung.
Ibrahim pun turun dari bukit, dan melangkahkan kakinya dengan berat menahan kesedihan yang mendalam. Memikirkan bagaimana kelanjutan nasib dari lelaki tua itu. dia berjalan menujuk kemah Lelaki tua, sesampainya disana ia kebingungan harus bagaimana mengatakannya dan mulai dari mana?
Setelah tiba di kemah lelaki tua itu, Ibrahim pun memberitahukan yang sebenarnya. “Aku mendapati bocah kecil yang mengurusmu itu telah tewas di lereng gunung. Ia diterkam serigala dengan tubuhnya yang terkoyak-koyak,” kata Ibrahim dengan nada yang sendu.
Maka lelaki tua itu pun tersedak-sedak seraya berkata: “Laa ilaaha illallaaah”. Melihat kondisi lelaki tua itu, Ibrahim berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya. Namun sedakannya yang semakin keras hingga akhirnya lelaki tua itu meninggal dunia. Ia wafat di hadapan Ibrahim, lalu Ibrahim menutupi jasadnya dengan selimut yang ada di sampingnya. Kemudian Ibrahim keluar mencari orang yang mau membantunya mengurusi jenazah lelaki tua tersebut.
Tak lama kemudian datanglah tiga orang yang mengendarai unta. Dengan segera Ibrahim memanggilnya. “Maukah kalian menerima pahala yang Allah giring kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa untuk mengurusinya. Maukah kalian menolongku mengurus jenazah ini?” tanya Ibrahim kepada tiga pemuda tersebut.
“Iya..” jawab mereka. Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat lelaki tua untuk memindahkannya. Namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak: “Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”
Ternyata Abu Qilabah ialah salah seorang ulama mereka. Akan tetapi waktu silih berganti, Abu Qilabah dirundung berbagai musibah sehingga menyendiri dari masyarakat. Akhirnya kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian Abu Ibrahim kembali bersama mereka ke Madinah.
Malamnya Ibrahim bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah. Dia  mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna. Dia berjalan-jalan di tanah yang hijau. Maka Ibrahim bertanya kepadanya : “Hai Abu Qilabah, apa yg menjadikanmu seperti yang kulihat saat ini?”
Maka jawabnya : “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya : Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu dalam mensyukuri segala nikmat yang Kuberikan. Maka (inilah surga) sebaik-baik tempat kembali. (pnurullah)

Kisah ini diriwayatkan Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqat” dengan penyesuaian.