Senin, 22 Oktober 2012

Detak Cikapundung di Pagi Buta



Apa yang terlintas pertama kali ketika Anda mendengar daerah Cikapundung? Memang tidak salah bila yang terbesit adalah nama salah satu sungai di Bandung yang kondisinya memprihatinkan. Namun taukah Anda, bila di tempat itu merupakan daerah yang tidak pernah 'mati'? ratusan warga banyak yang menggantungkn hidupnya di daerah tersebut. lantas ada apa di Cikapundung itu?? 

===

Pagi-pagi buta, ketika udara masih sedingin tadi malam dan kemilau rembulan masih nampak pada permukaan langit. Di sepanjang bahu jalan Cikapundung, tertumpuk banyak surat kabar dan majalah di beberapa titik. Area parkir pun dipenuhi motor-motor yang terparkir tak beraturan. Beberapa pedagang memenuhi serambi jalan, mencoba mengais rezeki memanfaatkan daerah yang tak pernah berhenti berdetak itu.
Ditemani lampu jalan yang memancar terang, para agen dengan cekatan menurunkan koran yang telah dibawa dari penerbit ke tempat sub-agen. Saat itu pula, koran-koran yang sudah dipesan langsung dipisahkan. Biasanya koran yang seperti itu ditandai cap tertentu atau juga ditempel secarik kertas putih bertuliskan alamat yang dituju. Untuk koran yang satu ini, prosesnya diserahkan kepada sub-agen dari media yang bersangkutan atau yang disebut sub-agen khusus. Merekalah yang membawa koran-koran tersebut ke berbagai daerah di luar Bandung, ada yang ke Tasikmalaya, Cirebon, Majalengka, dan lain sebagainya.
Koran-koran yang sudah dipisahkan, kemudian dibeli sub-agen yang berada di sekitar Cikapundung dengan harga yang variatif. Setelah sepakat, mereka mulai merapikan korannya, menyatukan beberapa halaman yang belum terbundel utuh, atau sekadar menyusunnya menjadi beberapa tumpukan agar tidak tercecer dan mudah diikat. Karena letak Cikapundung itu berada di tengah kota, tidak jarang para sub-agen membeli dengan jumlah yang fantastis, untuk kemudian dijual kembali di tempat asal mereka.
Tidak sampai disitu saja, proses sirkulasi terus berlanjut. Pukul 03.00 pagi, para pengecer yang sedari tadi hilir mudik mencari lokasi penjualan koran, mulai mendatangi sub-agen langganannya. Setiap media surat kabar mempunyai lokasinya masing-masing, bahkan satu media mempunyai lebih dari satu lokasi. Hal ini dilakukan agar lebih mempermudah proses pendistribusian dan transaksinya. 
 
 Cerita Ali dan Bilal

Semakin lama suasana semakin ramai saja, walaupun di ufuk timur sinar mentari belum juga menampakan kehangatannya. Akan tetapi, hal itu tak menyurutkan para pengecer dan yang lainnya untuk terus bekerja mengejar waktu.
Seperti yang dilakukan Pak Ali Nurdin, seorang pengecer koran di daerah Station Hall yang hampir tiga puluh tahun bergelut di dunia peloperan koran. Sambil mengikatkan koran-koran yang sudah dibelinya tadi, Bapak berkulit kecoklatan itu menuturkan sepenggal kisah hidupnya. Sulitnya mencari lapangan kerja, membuat ia membidik pekerjaan itu. Hingga kini memasuki tahun yang ketiga puluh ia masih setia dengan profesinya itu. Akhirnya dengan pekerjaan itu pulalah, ia berhasil membiayai kuliah anak sulungnya sampai lulus di Universitas Padjajaran jurusan jurnalistik, ujarnya seraya tersenyum bangga.
Tak lama ketika kerlip bintang mulai memudar, sahutan adzan shubuh pun menggema dari menara Mesjid Raya kota Bandung dan Masjid Lau Tse. Suara-suara tasbih memanggil jiwa-jiwa muslim yang masih terlelap untuk segera bersujud melaksanakan perintah-Nya. Pun yang masih tenggelam dalam urusan keduniaan.
Tepat di pojok kiri kantor Perkumpulan Agen Surat Kabar dan Majalah (PASKAM). Terletak menjorok setelah kamar mandi umum. Terdapat sebuah ruangan kecil yang disampingnya ada tempat whudu. Di sanalah biasanya para pekerja yang sadar akan kewajibannya menunaikan sembahyang. Karena sempitnya tempat itu, sholatpun dilakukan bergantian.
Selepas menunaikan ibadah salat, kebanyakan dari mereka memilih beristirahat, sejenak melepas lelah sambil menikmati eksotika suasana di pagi hari. Seperti yang dilakukan Pak Bilal. Di depan gerbang kantor PASKAM, di antara deretan tukang dagang, ia duduk sambil ditemani secangkir kopi dan sebungkus rokok keretek. Walaupun usianya sudah tak muda lagi, namun Bapak berkaca mata itu masih ingat betul bagaimana seluk beluk sejarah penditribusian surat kabar yang sebelumnya pernah berpusat di Jalan Victoria.
Sejak masih muda sekitar tahun 1969, ia mengawali kisahnya menjadi pengecer koran. Lambat laun berkat kegigihan usahanya, kini jabatannya bisa dikatakan naik, menjadi seorang sub-agen dari koran Top Skore dengan jalur distribusi ke daerah Cirebon dan Majalengka. Semenjak itu, ia mencoba mengembangkan usahanya dengan mewariskan kepada anaknya. Bahkan kini hampir keluarganya, termasuk menantu-menantunya pun ikut bergabung membantunya di bisnis itu. Alhasil, ia pun dapat membuka cabang di daerah Rancaekek.
Tak terasa, matahari mulai menyisir permukaan bumi, lampu-lampu jalan pun mulai dipadamkan. Seiring itu pula, satu per satu pekerja yang tersisa mulai meninggalkan Cikapundung. Memasuki jam lima pagi, daerah tersebut tak ubahnya seperti tempat lainnya. Hanya menjadi transit sementara para pendatang untuk membeli berbagai macam kebutuhan.
Mungkin bagi sebagian orang, Cikapudung memang tempat yang biasa saja. Tetapi tidak bagi mereka yang sejak pagi buta sudah berada di sana. Kisah Pak Ali dan Pak Bilal hanyalah sebagian kecil contoh warga yang menggantungkan hidupnya di Cikapundung. Begitulah sekelumit kehidupan di tempat itu. Cikapundung selalu menyimpan sejuta cerita yang menarik dan takkan pernah habis untuk diceritakan sampai kapanpun. []

0 komentar: