Apa yang terlintas pertama kali ketika Anda mendengar
daerah Cikapundung? Memang tidak salah bila yang terbesit adalah nama salah satu sungai di Bandung yang kondisinya
memprihatinkan. Namun taukah Anda, bila di tempat itu merupakan
Pagi-pagi buta,
ketika udara masih sedingin tadi malam dan kemilau rembulan masih nampak pada
permukaan langit. Di sepanjang bahu jalan Cikapundung, tertumpuk banyak surat
kabar dan majalah di beberapa titik. Area parkir pun dipenuhi motor-motor yang
terparkir tak beraturan. Beberapa pedagang memenuhi serambi jalan, mencoba
mengais rezeki memanfaatkan daerah yang tak pernah berhenti berdetak itu.
Ditemani lampu
jalan yang memancar terang, para agen dengan cekatan menurunkan koran yang
telah dibawa dari penerbit ke tempat sub-agen. Saat itu pula, koran-koran yang
sudah dipesan langsung dipisahkan. Biasanya koran yang seperti itu ditandai cap
tertentu atau juga ditempel secarik kertas putih bertuliskan alamat yang
dituju. Untuk koran yang satu ini, prosesnya diserahkan kepada sub-agen dari
media yang bersangkutan atau yang disebut sub-agen khusus. Merekalah yang
membawa koran-koran tersebut ke berbagai daerah di luar Bandung, ada yang ke
Tasikmalaya, Cirebon, Majalengka, dan lain sebagainya.
Koran-koran yang
sudah dipisahkan, kemudian dibeli sub-agen yang berada di sekitar Cikapundung
dengan harga yang variatif. Setelah sepakat, mereka mulai merapikan korannya,
menyatukan beberapa halaman yang belum terbundel utuh, atau sekadar menyusunnya
menjadi beberapa tumpukan agar tidak tercecer dan mudah diikat. Karena letak
Cikapundung itu berada di tengah kota, tidak jarang para sub-agen membeli
dengan jumlah yang fantastis, untuk kemudian dijual kembali di tempat asal
mereka.
Tidak sampai
disitu saja, proses sirkulasi terus berlanjut. Pukul 03.00 pagi, para pengecer
yang sedari tadi hilir mudik mencari lokasi penjualan koran, mulai mendatangi
sub-agen langganannya. Setiap media surat kabar mempunyai lokasinya
masing-masing, bahkan satu media mempunyai lebih dari satu lokasi. Hal ini
dilakukan agar lebih mempermudah proses pendistribusian dan transaksinya.
Cerita Ali dan Bilal
Semakin lama
suasana semakin ramai saja, walaupun di ufuk timur sinar mentari belum juga
menampakan kehangatannya. Akan tetapi, hal itu tak menyurutkan para pengecer
dan yang lainnya untuk terus bekerja mengejar waktu.
Seperti yang
dilakukan Pak Ali Nurdin, seorang pengecer koran di daerah Station Hall yang
hampir tiga puluh tahun bergelut di dunia peloperan koran. Sambil mengikatkan
koran-koran yang sudah dibelinya tadi, Bapak berkulit kecoklatan itu menuturkan
sepenggal kisah hidupnya. Sulitnya mencari lapangan kerja, membuat ia membidik
pekerjaan itu. Hingga kini memasuki tahun yang ketiga puluh ia masih setia
dengan profesinya itu. Akhirnya dengan pekerjaan itu pulalah, ia berhasil
membiayai kuliah anak sulungnya sampai lulus di Universitas Padjajaran jurusan
jurnalistik, ujarnya seraya tersenyum bangga.
Tak lama ketika
kerlip bintang mulai memudar, sahutan adzan shubuh pun menggema dari menara
Mesjid Raya kota Bandung dan Masjid Lau Tse. Suara-suara tasbih memanggil
jiwa-jiwa muslim yang masih terlelap untuk segera bersujud melaksanakan
perintah-Nya. Pun yang masih tenggelam dalam urusan keduniaan.
Tepat di pojok
kiri kantor Perkumpulan Agen Surat Kabar dan Majalah (PASKAM). Terletak
menjorok setelah kamar mandi umum. Terdapat sebuah ruangan kecil yang
disampingnya ada tempat whudu. Di sanalah biasanya para pekerja yang sadar akan
kewajibannya menunaikan sembahyang. Karena sempitnya tempat itu, sholatpun
dilakukan bergantian.
Selepas
menunaikan ibadah salat, kebanyakan dari mereka memilih beristirahat, sejenak
melepas lelah sambil menikmati eksotika suasana di pagi hari. Seperti yang
dilakukan Pak Bilal. Di depan gerbang kantor PASKAM, di antara deretan tukang
dagang, ia duduk sambil ditemani secangkir kopi dan sebungkus rokok keretek.
Walaupun usianya sudah tak muda lagi, namun Bapak berkaca mata itu masih ingat
betul bagaimana seluk beluk sejarah penditribusian surat kabar yang sebelumnya
pernah berpusat di Jalan Victoria.
Sejak masih muda
sekitar tahun 1969, ia mengawali kisahnya menjadi pengecer koran. Lambat laun
berkat kegigihan usahanya, kini jabatannya bisa dikatakan naik, menjadi seorang
sub-agen dari koran Top Skore dengan jalur distribusi ke daerah Cirebon dan
Majalengka. Semenjak itu, ia mencoba mengembangkan usahanya dengan mewariskan
kepada anaknya. Bahkan kini hampir keluarganya, termasuk menantu-menantunya pun
ikut bergabung membantunya di bisnis itu. Alhasil, ia pun dapat membuka cabang
di daerah Rancaekek.
Tak terasa,
matahari mulai menyisir permukaan bumi, lampu-lampu jalan pun mulai dipadamkan.
Seiring itu pula, satu per satu pekerja yang tersisa mulai meninggalkan
Cikapundung. Memasuki jam lima pagi, daerah tersebut tak ubahnya seperti tempat
lainnya. Hanya menjadi transit sementara para pendatang untuk membeli berbagai
macam kebutuhan.
Mungkin bagi
sebagian orang, Cikapudung memang tempat yang biasa saja. Tetapi tidak bagi
mereka yang sejak pagi buta sudah berada di sana. Kisah Pak Ali dan Pak Bilal
hanyalah sebagian kecil contoh warga yang menggantungkan hidupnya di
Cikapundung. Begitulah sekelumit kehidupan di tempat itu. Cikapundung selalu
menyimpan sejuta cerita yang menarik dan takkan pernah habis untuk diceritakan
sampai kapanpun. []
0 komentar:
Posting Komentar