Sang mentari mulai berkemas dari
peraduan. Bersiap-siap melakukan perjalanan suci, pergi ke ufuk barat. Namun ia
belum bisa meninggalkan posnya, sebelum batang hidung sang rembulan, nampak
beberapa lintang derajat. Padahal waktu sudah merangkak ke arah pukul lima
sore.
Sementara itu, Umar bin Khattab
beserta kedua temannya bergegas pulang. Dalam perjalanannya, mereka melewati
sekelompok fakir miskin, yang sedang duduk-duduk sambil menunjukkan raut
kesengsaraannya. Lantas Sayyidina Umar bertanya, “Siapakah mereka semua itu?”
Salah seorang sahabat yang ikut
dengannya menjawab, “Mereka itu adalah muttawakilun (orang-orang yang berserah
diri).“
Tak setuju dengan argumentasi yang
terlontar, Umar r.a pun membantahnya, “Bukan, mereka itu tak lebih dari
sekumpulan orang yang memakan harta manusia,”
“Maksudnya?” tanya sahabat yang satunya lagi.
“Maukah kalian saya beri tahu,
siapa yang termasuk Muttawakillun itu? tawar Umar pada kedua temannya.
“Iya,” jawab keduanya serempak.
Muttawakillun itu adalah mereka
yang melemparkan biji di atas tanah, baru ia bertawakal kepada Allah SWT. []*
Bekerja. Itulah maksud dari tamsil melemparkan biji. Syahdan, bekerja adalah fitrah manusia.
Islam pun sangat menghargai umatnya yang bekerja. Bekerja tidak hanya sebatas
memenuhi kebutuhan lahiriyah atau mengejar materi saja. Namun agar bernilai,
bekerja juga harus diniatkan sebagai perwujudan ibadah kepada Allah.
Beberapa contoh bagaimana Islam menginginkan umatnya untuk
bekerja termaktub dalam qur’an surat at-Taubah [9]: 105, “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu....” atau dalam surat
al-Jumu’ah ayat 9 : “Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Lihatkan? Betapa banyak hikmah yang didapat dengan kita
bekerja. Tentu saja, akan lebih berkah bila semua ditempuh dengan cara yang
disenangi Allah. Dilakukan dengan niat dan cara yang baik. Untuk yang satu ini,
Rasulullah pernah mengingatkan para sahabatnya, “Barangsiapa yang mencari rezeki yang halal untuk menjadi diri, maka ia
akan bertemu Allah dengan wajah yang bercahaya seperti rembulan purnama. Namun
barangsiapa yang mencarinya untuk kebanggaan (prestise) dan menumpuk harta,
maka ia akan bertemu dengan Allah, sedangkan Dia marah kepadanya.
Terakhir saya ingin menutup tulisan ini dengan satu cuplikan
kisah yang luar biasa. Pada suatu ketika, baginda Rasulullah SAW bersalaman
dengan Sa’ad bin Mu’adz r.a. Ternyata kedua telapak tangannya kasar, lalu
Rasulullah menanyakan hal itu. “Apa yang terjadi dengan tanganmu wahai Sa’ad?”
tanya Nabi. “Saya bekerja menyekap tanah untuk memberi nafkah keluargaku, ”
jawab Sa’ad. Kemudian Rasulullah mencium tangannya dan mengatakan “Inilah kedua
telapak tangan yang dicintai Allah.”
* dirangkum dari buku Ahmad Ad-Daur,
Bantahan Atas Kebohongan Seputar Hukum Riba, hlm. 216 dengan pelbagai perubahan