Rabu, 12 Juni 2013

Telapak Tangan yang Dicintai-Nya



            Sang mentari mulai berkemas dari peraduan. Bersiap-siap melakukan perjalanan suci, pergi ke ufuk barat. Namun ia belum bisa meninggalkan posnya, sebelum batang hidung sang rembulan, nampak beberapa lintang derajat. Padahal waktu sudah merangkak ke arah pukul lima sore.
Sementara itu, Umar bin Khattab beserta kedua temannya bergegas pulang. Dalam perjalanannya, mereka melewati sekelompok fakir miskin, yang sedang duduk-duduk sambil menunjukkan raut kesengsaraannya. Lantas Sayyidina Umar bertanya, “Siapakah mereka semua itu?”
Salah seorang sahabat yang ikut dengannya menjawab, “Mereka itu adalah muttawakilun (orang-orang yang berserah diri).“
Tak setuju dengan argumentasi yang terlontar, Umar r.a pun membantahnya, “Bukan, mereka itu tak lebih dari sekumpulan orang yang memakan harta manusia,”
“Maksudnya?” tanya  sahabat yang satunya lagi.
“Maukah kalian saya beri tahu, siapa yang termasuk Muttawakillun itu? tawar Umar pada kedua temannya.
“Iya,” jawab keduanya serempak.
Muttawakillun itu adalah mereka yang melemparkan biji di atas tanah, baru ia bertawakal kepada Allah SWT. []*
Bekerja. Itulah maksud dari tamsil melemparkan biji. Syahdan, bekerja adalah fitrah manusia. Islam pun sangat menghargai umatnya yang bekerja. Bekerja tidak hanya sebatas memenuhi kebutuhan lahiriyah atau mengejar materi saja. Namun agar bernilai, bekerja juga harus diniatkan sebagai perwujudan ibadah kepada Allah.
Beberapa contoh bagaimana Islam menginginkan umatnya untuk bekerja termaktub dalam qur’an surat at-Taubah [9]: 105, “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu....” atau dalam surat al-Jumu’ah ayat 9 : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Lihatkan? Betapa banyak hikmah yang didapat dengan kita bekerja. Tentu saja, akan lebih berkah bila semua ditempuh dengan cara yang disenangi Allah. Dilakukan dengan niat dan cara yang baik. Untuk yang satu ini, Rasulullah pernah mengingatkan para sahabatnya, “Barangsiapa yang mencari rezeki yang halal untuk menjadi diri, maka ia akan bertemu Allah dengan wajah yang bercahaya seperti rembulan purnama. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk kebanggaan (prestise) dan menumpuk harta, maka ia akan bertemu dengan Allah, sedangkan Dia marah kepadanya.
Terakhir saya ingin menutup tulisan ini dengan satu cuplikan kisah yang luar biasa. Pada suatu ketika, baginda Rasulullah SAW bersalaman dengan Sa’ad bin Mu’adz r.a. Ternyata kedua telapak tangannya kasar, lalu Rasulullah menanyakan hal itu. “Apa yang terjadi dengan tanganmu wahai Sa’ad?” tanya Nabi. “Saya bekerja menyekap tanah untuk memberi nafkah keluargaku, ” jawab Sa’ad. Kemudian Rasulullah mencium tangannya dan mengatakan “Inilah kedua telapak tangan yang dicintai Allah.”
* dirangkum dari buku Ahmad Ad-Daur, Bantahan Atas Kebohongan Seputar Hukum Riba, hlm. 216 dengan pelbagai perubahan

Save Our Majelis Taklim



Di salah satu masjid yang berada di sebuah permukiman, seorang wanita paruh baya kembali mengelus dadanya. Sulit sekali rasanya mengumpulkan orang-orang di sana untuk sekadar duduk dan menghayati isi Alqur’an. Sesekali ia melemparkan pandangannya ke arah pintu masjid, berharap ada yang datang dan berkenan bergabung dengan perkumpulannya yang lazim disebut majelis taklim itu. Namun hingga mentari pulang dari peraduannya, tak satu jama’ah pun bertambah. 
Sedang di sudut lain. Sekelompok ibu-ibu berkumpul di sebuah resto. Dandanan menor dengan jilbab yang bermandikan manik-manik dan perhiasan emas. Sambil menenteng tas bermerk, mereka duduk-duduk centil, melebur berdasarkan teman setaranya. Menggosip menjadi rutinitas yang tak terelakan.
Para suami menjadi pengantar. Menanti dengan setia kepulangan istrinya di mobil mewah. Bergumul dengan asap rokok dan secangkir kopi yang dipesan dari warung setempat. Melahap lembaran koran yang beritanya notabene menyayat hati.
Tak yang tua, pun yang muda sama saja. Di sudut kamar, ditemani genderang musik cadas atau lagu alay gaya melayu. Para pemuda tergolek lemas, bersembunyi di balik kehangatan selimut dan empuknya keranda kapuk. Wajahnya sayu, lelah karena semalaman bergadang melahap menu sajian televisi tanpa jeda.
Gadis-gadis, asyik shoping dari factory outlet, distro, hingga pasar baru. Membeli aneka baju, pernik, dan beragam gadget mutakhir. Saling pamer dan beradu kemolekan fashion. Tanpa risih menari rampak sambil mengumbar aurat. Berkiblat pada westernisasi hingga qodrat tak lagi jadi asasi.
Sedang bocah-bocah ingusan, asyik nagen di layar komputer. Jarinya begitu lincah menari di atas keyboard, tekan enter, spasi, dan huruf lainnya. Sesekali pekiknya menggaduhkan suasana. Rupanya mereka kalah lagi saat bermain game sega online. Syahdan, adakah kita termasuk di dalamnya? []
Di tengah zaman yang penuh dengan hiruk pikuk hiburan, nampaknya lebih mudah mengumpulkan orang-orang dalam sebuah konser dengan harga tiket yang selangit. Dibandingkan, dengan mengundang orang-orang untuk duduk di sebuah majelis taklim, mendalami beberapa lembar surat cinta dari Tuhan saban pekannya.
Sadarkah kita, di tengah perang hujjah dan pemikiran. Banyak sekali paham menyesatkan yang bersumber atas nama kebebasan yang bablas.  Jangankan yang jurang kesesatannya menganga, ajaran hidup yang benar pun kerap diragukan dan dianggap sesat. Bila tak sedari awal dipupuk paham keislaman yang murni (ikhlas). Maka jangan heran, bila saat nanti konsep Islam sendiri malah terdengar asing di tengah mereka yang mengaku Muslim. Maka, keberadaan majelis taklim sebenarnya bisa menjembatani permasalahan tersebut.
Majelis taklim sebagai salah satu wadah pengkajian keislaman yang terdekat dengan lingkungan, bisa menjadi katalis pendidikan generasi qur’ani. Selama ini, majelis taklim memang diidentikan dengan perkumpulan ibu-ibu, kolot, dan menjemukan. Para pemuda pun enggan duduk dan gengsi bersentuhan dengan yang namanya pengajian. Namun, sekiranya bila kita kembali pada makna dasar dari majelis taklim itu sendiri, setidaknya kita akan memeroleh sebuah definisi yang tak jauh berbeda dengan tempat menuntut ilmu, semisal sekolah. Hanya saja majelis taklim tidak dalam formatan yang formal.
Bila di sekolah, guru adalah panutan siswanya dalam bertingkah. Juga di rumah, seorang ibu adalah madrasah bagi anaknya. Maka di masyarakat, majelis taklim adalah salah satu wadah nyata pengabdian sosial sekaligus agama. Maka teramat sayang, bila wadah yang sedemikian besar dan potensial tersebut, hanya diisi oleh ustadz-ustadz karbitan yang hanya tahu kaifiat salat dan sedekah saja. [[]]