Minggu, 18 November 2012

“Fenomena Peniruan Gaya Berpakaian Kiyai dalam Perspektif Antropologi”



Bismillahirrahmaanirrahim….
Pendeskripsian Masalah Pengamatan
Pengamatan yang akan saya lakukan mengenai permasalahan simbol agama (khususnya simbol-simbol keislaman) yang dipakai sebagian masyarakat untuk mendulang dana. Maksudnya, sekarang ini masih banyak orang-orang menggunakan modus meminta dana kepada masyarakat dengan menggunakan pakaian seperti para kiyai atau para ajengan. (terlepas dari benar atau tidaknya maksud permintaan dana tersebut)

Kita tahu bahwa ajengan atau kiyai adalah tokoh masyarakat yang sangat dihormati, Karena pengetahuan keagamaannya yang luas dan hubungannya dengan Sang Khalik begitu kuat. Sehingga tak ayal para kiyai mendapatkan tempat khusus di hati masyarakat, khususnya dari para santrinya.

Nah, paradigma masyarakat seperti itulah yang kini seringkali dimanfaatkan oleh sebagian kalangan masyarakat untuk mendulang dana sebanyak mungkin dengan berpakaian seperti ajengan (memakai gamis dan memakai sorban yang dililitkan di kepalanya). Terkadang untuk menyempurnakan tampilannya, tak sedikit pula dari mereka memakai tasbih (alat yang biasa digunakan umat muslim untuk berdzikir). Dengan harapan para masyarakat terkesima dan mau menyisihkan sebagian uangnya untuk mereka. Bahkan tidak hanya dari segi tampilannya saja, mereka pun mencoba menarik simpati masyarakat dengan berbicara mengunakan bahasa Arab.

Sebenarnya pengamatan yang saya lakukan ini mungkin tidak begitu terasa manfaatnya untuk masyarakat secara umum. Namun saya berharap apa yang telah saya amati ini setidaknya menjadi salah satu referensi antropologi yang membahas suatu permasalahan yang berkaitan dengan hal ini.

Rumusan Masalah Pengamatan
Saya tidak akan mengamati tentang salah atau benarnya tindakan tersebut? atau Apakah masyarakat merasa simpati atas tindakan mereka? Apalagi menelusuri bagaimana tanggapan masyarakat tentang hal ini? Akan tetapi, di sini saya akan mencoba menguraikan bagaimana Antropologi memandang fenomena kebudayaan yang cukup unik ini. Mengapa saya katakan unik? Karena bisa dilihat fenomena ini hanya ada di Indonesia dan mungkin hanya ada di daerah perkotaan saja.

Kajian Antropologi
Antroplogi ialah suatu ilmu yang paling luas cakrawalanya dibanding ilmu-ilmu sosial lainnya. Karena Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami semua sifat-sifat manusia secara lebih detail. Karena itu, tiada seorang ahli antropologi yang mampu menguasai ilmu yang demikian luas cakupannya tersebut. Sarjana-sarjana antropologi pun memusatkan kajiannya pada bagian-bagian tertentu dari antropologi.

Salah satu dari kajian antropologi ini ada yang disebut dengan “Antropologi Budaya”. Dimana antropologi budaya mempelajari manusia yang berkaitan dengan materi-materi kebudayaan misalnya, alat-alat untuk bertahan hidup, kesenian, perilaku masyarakat, dan sebagainya.

Kembali pada permasalahan pengamatan di atas. Menurut saya, fenomena yang terjadi tersebut lebih cocok dikaji pada kajian antropologi budaya. Mengapa? Karena fenomena ini merupakan suatu bentuk prilaku manusia yang menggunakan suatu simbol agama, khususnya simbol yang teridentikan dengan Islam.

Dari kasus pengamatan di atas setidaknya di sini saya melihat ada dua kajian yang dapat dibahas dalam perspektif antropologi. Pertama, tentang simbol agama itu sendri. Apa itu simbol agama? Kedua, tentang paradigma kiyai. Seperti apakah paradigma kiyai saat ini? Lalu apa hubungannya kiyai dengan simbol agama? Yah, setidaknya hal itulah yang akan saya coba uraikan.

Pertama, mari kita telusuri tentang simbol agama. Secara esensinya simbol agama adalah suatu alat yang menjadi tanda atau ciri dari suatu agama. Misalnya dalam ajaran Kristen, salib menjadi sebuah simbol suci yang sudah teridentikan dengan Agama Kristen. Karena sejarahnya Yesus yang dipercayai sebagai “juru selamat” disalib oleh para penguasa pada zamannya dan berakhir sangat mengenaskan. Kejadian tersebut sangat memilukan hati ummat Kristiani. Secara tidak sadar salib pun menjadi benda yang sangat sakral bagi mereka. Itu dari contoh Agama Kristen, begitu halnya dengan agama lainnya seperti Budha, Hindu, Islam, Yahudi ataupun agama apapun. Saya kira mereka memiliki suatu benda yang begitu disakralkan.

Kedua, tentang pandangan terhadap kiyai. Bila kita melihat figur dari seorang kiyai dahulu. Seringkali teridentikan akan sosok yang tegas, bijaksana, dan cerdas. Pada umumnya para kiyai menjadi tokoh masyarakat yang sangat disegani. Namun apalah daya bila ternyata di zaman ini pandangan mengenai mereka mulai berubah.  Yah, mungkin akibat dari pengaruh dunia sekuler yang memisahkan urusan agama dengan politik. Karena itu saat melihat kiyai perspektif beberapa kalangan masyarakat pun malah menjadi menyimpang. Yaitu mereka yang tugasnya hanya mengurusi pesantren saja. Tidak usah ataupun jangan mengurusi urusan-urusan politik negara.

Di sini antropologi memandang telah terjadinya suatu penggeseran makna dan status sosial dari kiyai. Sehingga sebenarnya sudah sedikit tidak relevan lagi bagi masyarakat Indonesia untuk menarik simpati para masyarakat dengan “berlaga” seperti para kiyai.

Lalu apa hubungannya para kiyai dengan simbol agama yang sempat kita bahas secara singkat sebelumnya?

Bila kita sama-sama amati permasalahan fenomena kebudayaan yang cukup menjamur ini, menarik saya pada satu pertanyaan, apakah gaya berpakaian dari para kiyai itu termasuk dalam simbol agama Islam? Jikalau hal itu termasuk simbol agama Islam apakah tindakan para “plagiat” mode itu termasuk pelecehan simbol agama Islam?

Memang sulit untuk menentukan apakah pakaian yang sering digunakan oleh para kiyai itu sudah termasuk simbol agama? Karena selama ini tidak ada indikator yang jelas mengenai ketentuan-ketentuan yang bisa menjadikan sesuatu itu merupakan suatu simbol agama. Semua itu terjadi begitu saja tanpa ada manusia yang merencanakannya.

Contohnya saja salib yang sempat dibahas tadi. Salib menjadi simbol agama Kristen, karena ada kasus kejadian yang penting (bersejarah) dan menimpa pada orang yang penting pula. Ataupun tasbeh budha (benda yang hampir sama dengan tasbih namun memiliki ukuran yang lebih besar yang suka dikalungkan oleh umat budha) alat tersebut menjadi simbol agama ummat budha, yang entah kapan disahkannya. Pikiran kita akan terfokus pada setiap orang yang mengenakan tasbeh budha itu pasti umat Budha walaupun belum tentu demikian.

Tapi di sisi lain, bila suatu benda sudah teridentikan dengan suatu agama atau suatu kepercayaan maka benda tersebut sudah menjadi sebuah simbol agama tanpa harus meminta persetujuan dari umatnya apakah benda ini mau dijadikan simbol agama atau tidak. Begitupun dengan gaya berpakaian dari para kiyai. Ketika kita melihat seseorang yang berpakaian seperti kiyai maka otak kita sudah tersimpulkan dengan sendirinya bahwa orang tersebut ialah orang Islam. Setidaknya otak kita pasti menyangkal orang yang berpakaian seperti itu adalah seorang pendeta, pastur, atau orang Kristen.

Kesimpulan
Jadi, gaya berpakaian seorang kiyai telah menjadi suatu simbol agama Islam atau telah menjadi sesuatu yang identik dengan kata Islam bahkan telah menjadi sesuatu yang sakral bagi ummat Islam. Maka tindakan orang-orang yang melakukan hal tersebut dalam perspektif Antropologi bisa dianggap sebagai suatu penyelewengan agama. Lebih-lebih bisa dianggap sebagai suatu pelecehan terhadap Islam.

Karena itu larangan penggunaan simbol-simbol agama untuk tujuan yang tak pada tempatnya adalah sebuah hal yang positif untuk menjaga agama dari orang-orang yang menyelewengkan dan bermain-main dengan ajaran Tuhan.

Antropologi memandang tentang urusan agama. Secara esensi, agama itu milik Tuhan, bukan milik umat yang memeluk agama tersebut. Demikian pun simbol-simbol dan atribut-atribut yang ada di dalam suatu agama Tuhan adalah pemilik yang mutlak. Jadi penggunaan simbol-simbol agama untuk tujuan yang tak pada tempatnya bisa dianggap sebagai sesuatu penghinaan >>>
Waulahu’alam….

Daftar Referensi

1 komentar:

Zeal*Liyanfury mengatakan...

mungkin benar masalah ini hanya ada di indonesia tapi mungkin pelu ditinjau lagi rumusan pengamatannya karena kalau diamati lebih jeli fenomena ini justru lebih membudaya di pedesaan.
selebihnya diluar kajian antropologi bahwa masyarakat yang mengaku islam sendiri telah membubuhkan coreng diwajah islam yang mulia dengan melekatkan sikap dan sifat buruk berkedok simbol-simbol islam, maka seyogyanya masyarakat perlu diarahkan kepada kesadaran bahwa islam bukanlah sebuah budaya melainkan Ad-Diin Al-Haq yang bersumber pada ajaran tauhid. wallohu'alam bisshowab