Di
salah satu masjid yang berada di sebuah permukiman, seorang wanita paruh baya
kembali mengelus dadanya. Sulit sekali rasanya mengumpulkan orang-orang di sana
untuk sekadar duduk dan menghayati isi Alqur’an. Sesekali ia melemparkan
pandangannya ke arah pintu masjid, berharap ada yang datang dan berkenan
bergabung dengan perkumpulannya yang lazim disebut majelis taklim itu. Namun
hingga mentari pulang dari peraduannya, tak satu jama’ah pun bertambah.
Sedang
di sudut lain. Sekelompok ibu-ibu berkumpul di sebuah resto. Dandanan menor
dengan jilbab yang bermandikan manik-manik dan perhiasan emas. Sambil menenteng
tas bermerk, mereka duduk-duduk centil, melebur berdasarkan teman setaranya.
Menggosip menjadi rutinitas yang tak terelakan.
Para
suami menjadi pengantar. Menanti dengan setia kepulangan istrinya di mobil
mewah. Bergumul dengan asap rokok dan secangkir kopi yang dipesan dari warung
setempat. Melahap lembaran koran yang beritanya notabene menyayat hati.
Tak
yang tua, pun yang muda sama saja. Di sudut kamar, ditemani genderang musik
cadas atau lagu alay gaya melayu. Para pemuda tergolek lemas, bersembunyi di
balik kehangatan selimut dan empuknya keranda kapuk. Wajahnya sayu, lelah
karena semalaman bergadang melahap menu sajian televisi tanpa jeda.
Gadis-gadis,
asyik shoping dari factory outlet, distro, hingga pasar baru. Membeli aneka
baju, pernik, dan beragam gadget mutakhir. Saling pamer dan beradu kemolekan
fashion. Tanpa risih menari rampak sambil mengumbar aurat. Berkiblat pada
westernisasi hingga qodrat tak lagi jadi asasi.
Sedang
bocah-bocah ingusan, asyik nagen di layar komputer. Jarinya begitu lincah
menari di atas keyboard, tekan enter, spasi, dan huruf lainnya. Sesekali
pekiknya menggaduhkan suasana. Rupanya mereka kalah lagi saat bermain game sega
online. Syahdan, adakah kita termasuk di dalamnya?
[]
Di tengah zaman yang
penuh dengan hiruk pikuk hiburan, nampaknya lebih mudah mengumpulkan
orang-orang dalam sebuah konser dengan harga tiket yang selangit. Dibandingkan,
dengan mengundang orang-orang untuk duduk di sebuah majelis taklim, mendalami beberapa
lembar surat cinta dari Tuhan saban pekannya.
Sadarkah kita, di
tengah perang hujjah dan pemikiran.
Banyak sekali paham menyesatkan yang bersumber atas nama kebebasan yang
bablas. Jangankan yang jurang
kesesatannya menganga, ajaran hidup yang benar pun kerap diragukan dan dianggap
sesat. Bila tak sedari awal dipupuk paham keislaman yang murni (ikhlas). Maka jangan
heran, bila saat nanti konsep Islam sendiri malah terdengar asing di tengah
mereka yang mengaku Muslim. Maka, keberadaan majelis taklim sebenarnya bisa
menjembatani permasalahan tersebut.
Majelis taklim sebagai
salah satu wadah pengkajian keislaman yang terdekat dengan lingkungan, bisa
menjadi katalis pendidikan generasi qur’ani. Selama ini, majelis taklim memang
diidentikan dengan perkumpulan ibu-ibu, kolot, dan menjemukan. Para pemuda pun
enggan duduk dan gengsi bersentuhan dengan yang namanya pengajian. Namun,
sekiranya bila kita kembali pada makna dasar dari majelis taklim itu sendiri,
setidaknya kita akan memeroleh sebuah definisi yang tak jauh berbeda dengan tempat
menuntut ilmu, semisal sekolah. Hanya saja majelis taklim tidak dalam formatan
yang formal.
Bila di sekolah, guru
adalah panutan siswanya dalam bertingkah. Juga di rumah, seorang ibu adalah
madrasah bagi anaknya. Maka di masyarakat, majelis taklim adalah salah satu
wadah nyata pengabdian sosial sekaligus agama. Maka teramat sayang, bila wadah
yang sedemikian besar dan potensial tersebut, hanya diisi oleh ustadz-ustadz
karbitan yang hanya tahu kaifiat salat dan sedekah saja. [[]]
0 komentar:
Posting Komentar